PENDAHULUAN
Setiap orang
tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu, nilai-nilai iman dan
moral yang tertanam baik, dan suasana belajar anak yang menyenangkan. Kerapkali
hal-hal tersebut tidak ditemukan para orangtua di sekolah umum. Oleh karena itu
muncullah ide orangtua untuk “menyekolahkan” anak-anaknya di rumah. Dalam
perkembangannya, berdirilah lembaga sekolah yang disebut sekolah-rumah
(homeschooling) atau dikenal juga dengan istilah sekolah mandiri, atau home education atau home based learning.
Banyaknya orangtua yang
tidak puas dengan hasil sekolah formal mendorong orangtua mendidik anaknya di
rumah. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan
sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai iman
dan moral). Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau
membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang
diperhatikan. Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh
teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih “cerdas”. Keadaan
demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan.
Ketidakpuasan tersebut
semakin memicu orangtua memilih mendidik anak-anaknya di rumah, dengan resiko
menyediakan banyak waktu dan tenaga. Homeschooling menjadi tempat harapan orang
tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak, mengembangkan nilai-nilai
iman/ agama dan moral serta mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan.
PEMBAHASAN
Istilah Homeschooling sendiri berasal dari bahasa Inggris berarti
sekolah rumah. Homeschooling berakar dan bertumbuh di Amerika Serikat.
Homeschooling dikenal juga dengan sebutan home
education, home based learning atau sekolah
mandiri. Pengertian umum homeschooling adalah model pendidikan dimana sebuah
keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan
menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Memilih untuk bertanggungjawab
berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan,
penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan,
kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek
belajar.
Peran dan komitmen total
orangtua sangat dituntut. Selain pemilihan materi dan standar pendidikan
sekolah rumah, mereka juga harus melaksanakan ujian bagi anak-anaknya untuk
mendapatkan sertifikat, dengan tujuan agar dapat melanjutkan pendidikan ke
jenjang berikutnya. Banyak orang tua Indonesia yang mempraktekkan homeschooling
mengambil materi pelajaran, bahan ujian dan sertifikat sekolah rumah dari
Amerika Serikat. Sertifikat dari negeri paman Sam itu diakui di Indonesia
(Departemen Pendidikan Nasional) sebagai lulusan sekolah Luar Negeri.
Departemen Pendidikan
Nasional menyebut sekolah-rumah dalam pengertian pendidikan homeschooling.
Jalur sekolah-rumah ini dikategorikan sebagai jalur pendidikan informal yaitu
jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (pasal 1 Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional – Sisidiknas No. 20/2003). Kegiatan pendidikan informal
yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri. Meskipun pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan
pendidikan informal, namun hasil pendidikan informal diakui sama dengan
pendidikan formal (sekolah umum) dan nonformal setelah peserta didik lulus
ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27 ayat 2).
Dalam
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Juga
dijelaskan sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan
yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional
(pasal 1).
Berdasarkan
definisi pendidikan dan sistem pendidikan nasional tersebut, sekolah rumah menjadi
bagian dari usaha pencapaian fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Filosofi
berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan
senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang
membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak,
mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu
oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan
perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru
dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada
siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi
disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.
Pada
waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray
dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua
menyekolahkan anak lebih awal (early childhood
education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa
memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya
tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya
anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka.
Setelah
pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt
sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead
of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua
homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt
menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling.
Serupa dengan Holt, Ray
dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting
homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai
alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs)
, pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu
oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.
Perkembangan
homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada
penelitian khusus tetang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan
khazanah relatif baru di Indonesia. Namun jika dilihat dari konsep
homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal
alias otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak
tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktekkan homeschooling seperti
KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi,
18 Juni 2006).
Dalam pengertian homeschooling ala Amerika Serikat, sekolah rumah di
Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Misalnya Wanti, seorang ibu yang tidak
puas dengan sistem pendidikan formal. Melihat risiko yang menurut Wanti sangat
mahal harganya, dia banting setir. Tahun 1992 Wanti mengeluarkan semua anaknya
dari sekolah dan memutuskan mengajar sendiri anak-anaknya di rumah. Ia
mempersiapkan diri selama 2 tahun sebelum menyekolahkan anaknya di rumah. Semua
kurikulum dan bahan ajar diimpor dari Amerika Serikat.Wanti sadar keputusannya
mengandung konsekuensi berat. Dia harus mau capek belajar lagi, karena
bersekolah di rumah berarti bukan anaknya saja yang belajar, tetapi justru
orangtua yang harus banyak belajar.
Demikian juga Helen
Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya dengan bersekolah di rumah,
sampai harus ke Singapura dan Malaysia mengikuti seminar tentang hal ini. Dia
ingin benar-benar mantap, baru mengambil keputusan. “Kebetulan waktu itu
kondisi ekonomi sedang krisis sehingga kami banyak di rumah. Eh, ternyata enak
ya belajar bersama di rumah,” kata Helen yang mulai mengajar anak di rumah
tahun 2000 (Kompas, 13/3/2005).
Di Indonesia baru
beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschoooling, seperti Morning Star
Academy dan lembaga pemerintah berupa Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM).
Morning Star Academy,
Lembaga pendidikan Kristen ini berdiri sejak tahun 2002 dengan tujuan selain
memberikan edukasi yang bertaraf internasional, juga membentuk karakter
siswanya.
Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan program pemerintah dalam
menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggara PKBM sudah ada
ratusan di Indonesia. Di Jakarta Selatan aja, ada sekitar 25 lembaga
penyelenggara PKBM dengan jumlah siswa lebih kurang 100 orang. Setiap program
PKBM terbagi atas Program Paket A (untuk setingkat SD), B (setingkat SMP), dan
Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya menyelenggarakan proses pendidikan
selama 3 hari di sekolah, selebihnya, tutor mendatangi rumah para murid. Para
murid harus mengikuti ujian guna mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan
ke jenjang berikutnya. Perbedaan Ijazah dengan sekolah umum, PKBM langsung
mengeluarkannya dari pusat.
Saat
ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap
informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin
banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya.
Faktor-Faktor Pemicu dan Pendukung
Homechooling
·
Kegagalan
sekolah formal
Baik di Amerika Serikat
maupun di Indonesia, kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu
pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia
maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini
dinilai dapat menghasilkan didikan bermutu.
·
Teori
Inteligensi ganda
Salah satu teori
pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan homeschooling adalah Teori
Inteligensi Ganda (Multiple Intelligences) dalam buku Frames of Minds: The
Theory of Multiple Intelligences (1983) yang
digagas oleh Howard Gardner. Gardner menggagas teori inteligensi ganda. Pada
awalnya, dia menemukan distingsi 7 jenis inteligensi (kecerdasan) manusia.
Kemudian, pada tahun 1999, ia menambahkan 2 jenis inteligensi baru sehingga
menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenis-jenis inteligensi tersebut
adalah:Inteligensi linguistik; Inteligensi matematis-logis; Inteligensi
ruang-visual; Inteligensi kinestetik-badani; Inteligensi musikal; Inteligensi
interpersonal; Inteligensi intrapersonal; Inteligensi ligkungan; dan
Inteligensi eksistensial.
Teori Gardner ini memicu
para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi inteligensi yang dimiliki
anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu mengembangkan inteligensi anak,
sebab sistem sekolah formal sering kali malahan memasung inteligensi anak.
·
Sosok
homeschooling terkenal
Banyaknya tokoh-tokoh
penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal
juga memicu munculnya homeschooling. Sebut saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa
Edison, KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya.
Benyamin Franklin
misalnya, ia berhasil menjadi seorang negarawan, ilmuwan, penemu, pemimpin
sipil dan pelayan publik bukan karena belajar di sekolah formal. Franklin hanya
menjalani dua tahun mengikuti sekolah karena orang tua tak mampu membayar biaya
pendidikan. Selebihnya, ia belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke
waktu di rumah dan tempat lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.
·
Tersedianya
aneka sarana
Dewasa ini, perkembangan
homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas yang berkembang di dunia nyata.
Fasilitas itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga
penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial
(taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran,
pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan
audivisual).
Homeschooling vs Sekolah Umum
Model pendidikan yang
paling terkenal dan diakui masyarakat adalah sistem sekolah atau pendidikan
formal baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. Sekolah umum
seringkali dipandang sebagian orang lebih valid dan disukai.
Namun bagi sebagian
orang, sistem sekolah umum merupakan sekolah yang tidak memuaskan bagi
perkembangan diri anak. Sekolah umum menjadi kambing hitam atas output yang
dikeluarkannya. Hal ini terlihat dari output pendidikan formal banyak menjadi
koruptor, pelaku mafia peradilan, politisi pembohong, dan penipu kelas kakap.
Alasan kekecewaan itulah memicu keluarga-keluarga memilih sekolah rumah alias
homeschooling sebagai pendidikan alternatif.
Pada hakekatnya, baik
homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk
menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan.
Namun homeschooling dan sekolah memiliki perbedaan.
Pada sistem sekolah,
tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan
pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung jawab pendidikan anak
sepenuhnya berada di tangan orang tua. Sistem di sekolah terstandardisasi untuk
memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem pada homeschooling
disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga. Pada sekolah, jadwal
belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling
jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang
tua. Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan
kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi
pada keinginan keluarga homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan
ditentukan oleh orang tua.
Kelebihan dan Kekurangan Homeschooling
Dari perbedaan di atas,
kita dapat menyebutkan kelebihan homeschooling, antara lain: adaptable, artinya sesuai dengan
kebutuhan anak dan kondisi keluarga; mandiri
artinya lebih memberikan peluang kemandirian dan
kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum; potensi yang maksimal, dapat
memaksimalkan potensi anak, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan
sekolah; siap terjun pada dunia nyata. Output sekolah rumah lebih siap terjun pada dunia nyata karena proses
pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya; terlindung dari pergaulan menyimpang. Ada kesesuaian pertumbuhan anak dengan dengan keluarga. Relatif
terlindung dari hamparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, narkoba,
konsumerisme, pornografi, mencontek dan sebagainya); Ekonomis, biaya pendidikan dapat
menyesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga.
Di sisi lain,
homeschooling mempunyai kelemahan-kelemahan yang dapat disebutkan berikut ini:
membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua; memiliki
kompleksitas yang lebih tinggi karena orangtua harus bertanggung jawab atas
keseluruhan proses pendidikan anak; keterampilan dan dinamika bersosialisasi
dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja
dalam tim (team work), organisasi
dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek
samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks
yang tidak terprediksi.
Penutup
Homeschooling merupakan
sebuah pilihan dan khazanah alternatif pendidikan bagi orang tua dalam
meningkatkan mutu pendidikan, mengembangkan nilai iman (agama), dan
menginginkan suasana belajar yang lebih menyenangkan. Di sisi lain, ada sekolah
umum yang memberikan bahan ajar dan kurikulum secara terpusat dan seragam,
sesuai dengan harapan dan kebutuhan anak. Baik homeschooling maupun sekolah
umum (pendidikan formal) sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam
menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Soal pilihan atas
keduanya, semua diserahkan pada orangtua dan keluarga sesuai dengan kondisi
keluarga.