Sunday 4 November 2012

Hubungan Bilingualisme dengan Diglosia


                                                                      BAB I
                                                            PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ada asumsi yang mengatakan bahwa bahasa-bahasa adalah objek, yang secara ideal diantara objek-objek itu terdapat batas-batas yang jelas. Ini berimplikasi bahwa setiap ucapan dapat dikategorikan pada satu bahasa tertentu. Item-item yang jelas ‘termasuk bahasa lain’ dapat diakomodasikan  dengan istilah ‘bentuk pinjaman’ atau ‘terselip’ melalui interfensi. Asumsi tersebut tidak dapat dipakai lagi, sebab tidak mampu membahas bentuk-bentuk pengalihan antara bahasa-bahasa, sebagai satu gejala umum dalam masyarakat bilingual. Dan implikasinya adalah bahwa tingkah semacam itu membentuk gangguan yang yang mengurangi efesiensi tindak komunikatif dimana pengalihan itu terjadi.


Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain, entah karena letaknya jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur itu akan tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang inklusif, dalam arti ia memiliki hubungan dengan masyarakat lain, tentu akan mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa tersebut yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa itu adalah apa yang didalam sosiolinguistik disebut bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, konfergensi dan pergeseran bahasa.

Dari pengalaman hidup di Indonesia, kita tahu bahwa di banyak negara, bahkan banyak daerah dan kota, terdapat orang-orang yang memakai bahasa yang berlainan. Bisa juga terdapat orang-orang yang memakai lebih dari satu bahasa, umpamanya bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Suatu daerah atau masyarakat di mana terdapat dua bahasa disebut daerah atau masyarakat yang berdwibahasa atau bilingual.
Berpijak dari kerangka dasar di atas, maka dalam makalah ini dibahas tentang bilingualisme dan diglosia serta hubungan antara keduanya.

B. Rumusan masalah

Dengan latar belakang di atas maka makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Apakah pengertian bilingualisme itu?
b. Apakah pengertian diglosia itu?
c. Bagaimanakah hubungan antara keduanya?

                                                                     BAB II
                                                            PEMBAHASAN


A.Pengertian Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud bilingualisme itu, yakni berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Dalam perspektif sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama adalah bahasa ibu atau bahasa pertamanya (disingkat B1) dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).

Orang yang bisa menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual, dalam bahasa Indonesia disebut dwibahasawan. Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas, dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan.

Bilingualisme dan Bilingualitas.
Jika kita perhatikan hubungan logika antara bilingualisme dan bilingualitas, maka akan dapat dimengerti bahwa tidak semua yang memiliki “bilingulitas” akan mempraktikkan “bilingualisme” dalam kehidupan sehari-harinya, sebab hal ini tergantung pada situasi kebahasaan di lingkungannya. Namun, dapat pula kita pahami bahwa seseorang tidak akan dapat mempraktikkan “bilingualisme” tanpa memiliki “bilingualitas”. Singkatnya, bilingualisme berimplikasi pada bilingualitas.

B.Diglosia
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Yang dimaksud ialah bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal. Misalkan di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan.

Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurutnya, dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R).

Prestise. Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap bahwa dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadaannya.
Pemerolehan dialek T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan dialek atau ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman. Dan karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal. Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T. Stabilitas dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masnyarakat itu.

C.Hubungan Bilingualisme dengan Diglosia
Ketika diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan bilingualisme sebagai adanya penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman menggambarkan hubungan diglosia sebagai berikut:

a.Bilingualisme dan diglosia
Di dalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, hamper setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan.

b.Bilingualisme tanpa diglosia
Dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosis tetdapat sejumlah individu yang bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi dan tujuan apapun.

c.Diglosia tanpa bilingualisme
Di dalam masyarakat yang beriringan diglosia tapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil, merupakan kelompok ruling group yang hanya bicara dalam bahasa T. Sedangkan kelompok kedua yang biasanya lebih besar, tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbicara bahasa R. situasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa sebelum perang dunia pertama.

d.Tidak bilingualisme dan tidak diglosia
Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala tujuan. Keadaan in hanya mungkin ada dalam masyarakat primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan bilingual ini akan mencair apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain.


                                                                        BAB III
          PENUTUP


A.Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa poin, yaitu :
1.Bilingualisme adalah akibat dari penggunaan lebih dari satu kode oleh seseorang individu atau masyarakat.
2.Diglosia adalah merupakan akibat dari valuasi perbedaan fungsional. Bilingulisme dan diglosia dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam suatu komunitas ujar.
3.Hubungan antara keduanya amatlah tergantung dari aspek dan bagaimana kita memandangnya.

B.Saran dan Harapan
Dengan membaca makalah ini penulis berharap agar para pembaca yang budiman dapat mengambil satu hikmah sehingga bisa bermanfaat. Dan tentunya, penulis sadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kelemahan. Dengan demikian, adalah suatu kegembiraan kiranya jika terdapat banyak kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk perjalanan ke depan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer & Leonie Agustina, Sosiolinguistik Suatu Pengantar, Jakarta, Rineka Cipta, cet-1,1995
Nababan, PWJ., Sosiolinguistik Suatu Pengantar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, cet-4, 1993
http//www. id.wikipedia.jorg/wiki/Diglosia