Sunday 4 November 2012

Bermain Peran


1.      Hakikat Bermain Peran
Hakikat pembelajaran bermain peran terletak pada keterlibatan emosional pemeran dan pengamat dalam situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Melalui bermain peran dalam pembelajaran, diharapkan para peserta didik dapat (1) mengeksplorasi perasaannya; (2) memperoleh wawasan tentang sikap, nilai, dan persepsinya; (3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi; dan (4) mengeksplorasi inti permasalahan yang diperankan melalui berbagai cara.


Istilah bermain peran mempunyai empat pengertian, yaitu (1) sesuatu yang bersifat sandiwara di mana pemain memainkan peran tertentu sesuai dengan lakon yang sudah ditulis dan memainkannya untuk tujuan hiburan; (2) sesuatu yang bersifat sosiologis atau pola-pola perilaku yang ditentukan oleh norma-norma sosial; (3) suatu perilaku tiruan atau tipuan di mana seseorang berusaha memperbodoh orang lain dengan jalan berperilaku berlawanan dengan apa yang sebenarnya diharapkan, dirasakan, atau diinginkan; dan (4) sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan di mana individu memerankan situasi yang imajinatif dengan tujuan untuk membantu tercapainya pemahaman diri sendiri, meningkatkan keterampilan, menunjukkan perilaku kepada orang lain bagaimana perilaku seseorang atau bagaimana seseorang harus bertingkahlaku.
Corsini (dalam Tatiek, 2001 : 99). Bennet, dalam Tatiek (2001 : 99) mengemukakan bahwa bermain peran adalah suatu alat belajar yang mengembangkan keterampilan-keterampilan dan pengertian-pengertian mengenai hubungan antar manusia dengan jalan memerankan situasi-situasi yang paralel dengan yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya.
Corsini, dalam Tatiek (2001 : 99) menyatakan bahwa bermain peran dapat digunakan sebagai : (a) alat untuk mendiagnosis dan mengerti seseorang dengan cara mengamati perilakunya waktu memerankan dengan spontan situasi-situasi atau kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya; (b) media pengajaran, melalui proses “modeling” anggota dapat lebih efektif melalui keterampilan-keterampilan antar pribadi dengan mengamati berbagai macam cara dalam memecahkan masalah; dan (c) metode latihan untuk melatih keterampilan-keterampilan tertentu melalui keterlibatan secara aktif dalam proses bermain peran.
Bermain peran pada prinsipnya merupakan metode untuk ‘menghadirkan’ peran-peran yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu ‘pertunjukan peran’ di dalam kelas/pertemuan, yang kemudian dijadikan sebagai bahan refleksi agar peserta memberikan penilaian terhadap . Misalnya: menilai keunggulan maupun kelemahan masing-masing peran tersebut, dan kemudian memberikan saran/ alternatif pendapat bagi pengembangan peran-peran tersebut. Metode ini lebih menekankan terhadap masalah yang diangkat dalam ‘pertunjukan’, dan bukan pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran.
Dari sekian banyak pengertian bermain peran, dapat disimpulkan bahwa bermain peran adalah suatu kegiatan yang di dalamnya melakukan perbuatan-perbuatan yaitu gerakan-gerakan wajah (ekspresi) sesuai dengan apa yang diceritakan.
Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih. Strategi Role Playing (bermain peran) termasuk metode pementasan drama yang sangat sederhana. Peran diambil dari kisah kehidupan nyata sehari-hari (bukan imajinatif).

2.      Manfaat Bermain Peran
Model pembelajaran bermain peran bermanfaat untuk mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapinya.  Melalui bermain peran dalam pembelajaran, peserta didik juga dapat mengekplorasi perasaannya, memperoleh wawasan tentang sikap, nilai dan persepsinya mengenai suatu hal, mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi dan mengekplorasi inti permasalahan yang diperankan melalui berbagai cara. Secara garis besar, manfaat lain dari bermain peran adalah sebagai berikut:
  1. Kreativitas
Dengan bermain peran kreativitas peserta didik dapat lebih terasah karena dalam dunia khayalan, anak bisa jadi apa saja dan melaukan apa saja sesuai dengan peran yang dimainkannya.
  1. Disiplin
Saat bermain peran, biasanya ia mengambil peraturan dan pola hidupnya sehari-hari. Misalnya, saat ia bermain peran sebagai orangtua yang menidurkan anaknya, ia akan bersikap dan mengatakan seperti apa yang ia sering dilakukan dan dikatakan oleh orangtuanya. Sehingga secara tak langsung, ia pun membangun kedisiplinan dan keteraturan pada dirinya sendiri
  1. Keluwesan
Saat bermain peran, secara tidak langsung anak-anak mulai belajar untuk mengatasi rasa takut dan hal-hal yang sebelumnya berbeda bagi mereka Dengan bimbingan dan perumpamaan ini, diharapkan rasa takut atau trauma si kecil akan lebih berkurang.
3.      Jenis Bermain Peran
Ada dua jenis bermain peran, yaitu mikro dan makro.
1.      Bermain peran mikro, anak-anak belajar menjadi sutradara, memainkan boneka, dan mainan berukuran kecil seperti rumah-rumahan, kursi sofa mini, tempat tidur mini (seperti bermain boneka barbie). Biasanya mereka akan menciptakan percakapan sendiri.
2.      Dalam bermain peran makro, anak berperan menjadi seseorang yang mereka inginkan. Bisa mama, papa, tante,polisi, sopir, pilot, dsb.
Saat bermain peran ini bisa menjadi ajang belajar bagi mereka, baik belajar membaca, berhitung, mempelajari proses/alur dalam mengerjakan sesuatu, mengenal tata tertib/tata cara di suatu tempat, yang semua ada dalam kehidupan kita. Tentu saja kita hanya cukup memberikan informasi sebelum mereka mulai bermain, dan atau lebih bik kalo kita terlibat dalam permainan tersebut agar kita bisa menggali imaginasi dan mengenalkan informasi yang ingin kita kenalkan.

4.      Langkah-langkah Bermain Peran
Dalam bermain peran langkah-langkah yang harus ditempuh yaitu ada empat langkah sebagai berikut menurut Hesti dkk, (2004) :
(a) Membacakan naskah drama atau percakapan dengan intonasi jeda, lafal, dan volume suara yang sesuai. Kalimat-kalimat dalam kurung tidak perlu dibaca, karena kalimat-kalimat tersebut merupakan petunjuk laku.
(b) Menentukan watak tokoh dan ekspresi yang tepat untuk memerankan tokoh tersebut.
(c) Berlatih berulang-ulang sampai betul-betul dapat memerankan tokoh dengan baik.
(d) Menggunakan perlengkapan panggung dan kostum yang sesuai agar percakapan yang diperankan lebih hidup.
Apabila hal-hal di atas dapat dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh, maka secara otomatis akan menjadikan hidupnya percakapan karena dilakukan oleh anak-anak yang aktif dan kreatif sesuai dengan watak tokoh masing-masing.
.           Selanjutnya, Shaffel dan Shaffel, 1967 (dalam Herman J. Waluyo, 2008: 196) menyebutkan ada Sembilan langkah dalam role playing, yaitu: (1) memotivasi kelompok; (2) memilih pemeran (casting ); (3) menyiapkan pengamat; (4) menyiapkan tahap-tahap peran; (5) pemeranan (pentas di depan kelas); (6) diskusi dan evaluasi I (spontanitas) ; (7) pemeranan (pentas) ulang; (8) diskusi dan evaluasi II, pemecahan masalah, dan (9) membagi pengalaman dan menarik generalisasi. Dari role playing dapat dicapai aspek perasaan, sikap, nilai, persepsi, keterampilan pemecahan masalah, dan pemahaman terhadap pokok permasalahan. Unsur sampingan yang dapat dicapai melalui role playing adalah: (1) analisis nilai dan perilaku pribadi, (2) pemecahan masalah, (3) empati terhadap orang lain, (4) masalah social dan nilai; dan (5) kemampuan mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain.
5.      Metode Bermain Peran
Metode bermain peran atau teknik pengajaran adalah suatu cara penguasaan pelajaran kegiatan pengembangan imajinasi penghayatan suatu tokoh tertentu. Tarigan dkk (1991 : 389). Teknik bermain peran sangat baik dalam mendidik siswa untuk menggunakan ragam-ragam bahasa. Bermain peran dapat dilakukan dalam berbagai macam peranan. Seseorang dapat memerankan berbagai peran dalam satu harinya, misalnya sebagai seorang ibu, istri, teman, kepala sekolah, penjual, pembeli, dan sebagainya. Pada setiap peranan tersebut seorang anak harus dapat berperilaku sesuai dengan peran yang dilakukannya. Cara anak berperilaku pada setiap peranan tersebut bergantung pada status atau posisinya dengan pasangan perannya. Jadi, perilaku ibu kepada anaknya berbeda dengan perilakunya terhadap suaminya dan berbeda pula dengan perilakunya terhadap bawahannya di sekolah.
Cara berbicara orang tua tentu berbeda dengan cara berbicara anak muda, cara berbicara pembeli berbeda dengan cara berbicara penjual. Fungsi dan peranan seseorang menuntut cara berbicara atau berbahasa tertentu pula. Tarigan dkk (1991 : 389). Dalam bermain peran, siswa bertindak, berlaku, dan berbahasa sesuai dengan peranan tokoh yang diperankannya. Misalnya sebagai guru, polisi, hakim, dokter, pedagang, dan sebagainya. Setiap tokoh tertentu menuntut karakteristik tertentu pula. Dengan kata lain kepribadian seseorang adalah keseluruhan peranan yang diperankannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan sekalipun. Seseorang dapat dikatakan mempunyai penyesuaian diri yang baik apabila dapat berperilaku sesuai dengan peranan yang dimilikinya baik sebagai individu maupun makhluk sosial.
Top of Form
Bottom of Form
Metode bermain peran adalah salah satu proses belajar mengajar yang tergolong dalam metode simulasi. Menurut Dawson (1962) yang dikutip oleh Moedjiono & Dimyati (1992:80) mengemukakan bahwa simulasi merupakan suatu istilah umum berhubungan dengan menyusun dan mengoperasikan suatu model yang mereplikasi proses-proses perilaku. Sedangkan menurut Ali (1996:83) mengemukakan bahwa metode simulasi adalah suatu cara pengajaran dengan melakukan proses tingkah laku secara tiruan.
Metode pengajaran simulasi terbagi menjadi 3 kelompok seperti yang dikemukakan oleh Ali (1996:83) berikut ini ; (1) Sosiodrama : semacam drama sosial berguna untuk menanamkan kemampuan menganalisa situasi sosial tertentu, (2) Psikodrama : hampir mirip dengan sosiodrama . Perbedaan terletak pada penekannya. Sosia drama menekankan kepada permasalahan sosial, sedangkan psikodrama menekankan pada pengaruh psikologisnya dan (3) Role-Playing : role playing atau bermain peran bertujuan menggambarkan suatu peristiwa masa lampau. Sedangkan Moedjiono & Dimyati (1992:80) juga membagi metode pengajaran simulasi menjadi 3 kelompok seperti berikut ini :
(1)     Permainan simulasi (simulation games) yakni suatu permainan di mana para pemainnya berperan sebagai tempat pembuat keputusan, bertindak seperti jika mereka benar-benar terlibat dalam suatu situasi yang sebenarnya, dan / atau berkompetisi untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan peran yang ditentukan untuk mereka.
(2)      Bermain peran (role playing) yakni memainkan peranan dari peran-peran yang sudah pasti berdasarkan kejadian terdahulu, yang dimaksudkan untuk menciptakan kembali situasi sejarah/peristiwa masa lalu, menciptakan kemungkinan-kemungkinan kejadian masa yang akan datang, menciptakan peristiwa mutakhir yang dapat diperkaya atau mengkhayal situasi pada suatu tempat dan/ atau waktu tertentu, dan
(3)      Sosiodrama (sociodrama) yakni suatu pembuatan pemecahan masalah kelompok yang dipusatkan pada suatu masalah yang berhubungan dengan relasi kemanusiaan. Sosiodrama memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan alternatif pemecahan masalah yang timbul dan menjadi perhatian kelompok.

        Berdasarkan kutipan tersebut, berarti metode bermain peran adalah metode pembelajaran yang di dalamnya menampakkan adanya perilaku pura-pura dari siswa yang terlihat dan/ atau peniruan situasi dari tokoh-tokoh sejarah sedemikian rupa. Dengan demikian metode bermain peran adalah metode yang melibatkan siswa untuk pura-pura memainkan peran/ tokoh yang terlibat dalam proses sejarah.

6.      Model Bermain Peran
Melalui bermain peran (role playing), para peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan antar manusia dengan cara memperagakannya dan mendiskusikannya sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi perasaan, sikap, nilai, daan berbagai strategi pemecahan masalah. Sebagai suatu model pembelajaran, bermain peran berakar pada dimensi pribadi dan social.
Dari dimensi pribadi model ini berusaha membantu peserta didik menemukan makna dari lingkungan social yang bermanfaat bagi dirinya. Juga melalui model ini para peserta didik diajak untuk belajar memecahkan masalah pribadi yang sedang dihadapinya dengan bantuan kelompok social yang beranggotakan teman-teman sekelas. Dari dimensi sosial, model ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dalam menganalisis situasi sosial, terutama masalah yang menyangkut hubungan antar pribadi peserta didik. Pemecahan masalah dilakukan secara demokratis. Dengan demikian melalui model ini peserta didik juga dilatih untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis.
Pembelajaran partisipatif merupakan fenomena yang sedang tumbuh dalam pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Setiap jenis pembelajaran menggunakan metode dan teknik yang disesuaikan dengan factor-faktor yang ada disekelilingnya. Agar pembelajaran partisipatif berjalan efisien dan efektif mencapai sasarannya, maka diperlukan metode dan teknik-teknik pembelajaran partisipatif.
Menurut Dr. E. Mulyasa, M.Pd. (2004:141) terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai sosial, yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:
a. Secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
b. Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
c. Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Denagn demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.
d. Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan system keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
7.      Teknik Bermain Peran
Leonard H. Clark dalam Abdul Azis (2007:112) mengemukakan teknik bermain peran dengan fase dan kegiatannya sebagai berikut:
1)      Persiapan
a.       Persiapan untuk  bermain peran;
·         Memilih permasalahan yang mengandung pandangan-pandangan yang berbeda dan kemungkinan pemecahannya.
·         Mengarahkan siswa pada situasi dan masalah yang akan dihadapi.
b.      Memilih pemain.
·         Pilih secara sukarela, jangan diipaksa.
·         Sebisa mungkin pilih pemain yang dapat mengenali peran yang akan dibawakannya.
·         Hindari pemanin yang ditunjuk sendiri oleh siswa.
·         Pilih beberapa pemain agar seorang tidak memainkan dua peran sekaligus.
·         Setiap kelompok pemain npaling banyak 5 orang.
·         Hindari siswa membawakan peran  yang dekat dengan kehidupan sebenarnya.
c.       Mempersiapkan penonton
·         Harus yakin  bahwa pemirsa mengetahui keadaan dan tujuan bermain peran.
·         Arahkan mereka begaimana seharusnya berperilaku.
d.      Persiapkan para pemain
·         Biarkan siswa mempersiapkannya dengan sedikit mungkin campur tangan guru.
·         Sebelum bermain setiap pemain harus memahami betul apa  yang dilakukannya.
·         Permainan harus  lancar, dan sebaiknya ada  kata pembukaan, tetapi hindari melatih kembali saat sudah siap bermain.
·         Siapkan tempat dengan baik.
·         Kadang-kadang “kelompok kecil bermain peran” merupakan cara yang baik untuk bermain peran.
e.       Pelaksanaan
·         Upayakan agar singkat, bagi pemula lima menit sudah cukup, dan bermain sampai habis, jangan diinterupsi.
·         Biarkan agar spontanitas menjadi kunci.
·         Jangan menilai aktingnya, bahasanya dan  lain-lain.
·         Biarkan siswa bermain bebas dari angka dan tingkatan.
·         Jika terjadi kemacetan hal yang dapat dilakukan misalnya;
-          Dibimbing dengan pertanyaan.
-          Mencari orang lain untuk peran itu.
-          Menghentikan dan melangkah ke tindak  lanjut.
·         Jika pemain tersesat lakukan:
-          Rumuskan kembali keadaan dan masalah.
-          Simpulkan apa yang sudah dilakukan.
-          Hentikan dan arahkan kembali.
-          Mulai kembali setelah ada penjelasan singkat.
·         Jika siswa  mengganggu:
-          Tugasi dengan peran khusus.
-          Jangan pedulikan dia.
·         Jangan bolehkan pemirsa  mengganggu.
Jika tidak setuju dengan cara temannya memerankan beri ia kesempatan untuk  memerankannya.
f.       Tindak lanjut
·      Diskusi
-          Diskusi tindak lanjut yang dapat memberi pengaruh yang besar terhadap sikap dan pengetahuan siswa.
-          Diskusi juga dapat menganalisis, menafsirkan, member jalan keluar atau merekreasi.
-          Di dalam diskusi sebaiknya dinilai apa yang telah dipelajari.
·         Melakukan bermain peran kembali
Kadang-kadang memainkan kembali dapat memberi pemahaman yang lebih baik.
8.      Tujuan Bermain Peran
Menurut Sujadi (1983: 73) bermain peran dimaksudkan untuk memecahkan suatu masalah agar siswa memperoleh kesempatan untuk merasakan perasaan orang lain. Pakar lain, Hidayat dan Muhyidin (1980: 29) menyatakan dengan model interaksi seperti ini, akan membantu siswa dalam 1) mengembangkan perasaannya, 2) mengembangkan sikapnya, 3) mengembangkan keterampilannya dalam memecahkan suatu masalah dan 4) mengembangkan berbagai cara belajar.
Menurut Hamalik(2008: 199) tujuan bermain peran adalah sebagai berikut
1)      belajar dengan berbuat, para siswa melakukan peranan tertentu sesuia dengan kenyataan yang sesungguhnya. Tujuannya adalah  untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan interaktif atau keterampilan-keterampilan reakif.
2)      Belajar melalui peniruan (mitasi) para siswa  pengamat dram menyamakan diri dengan pelaku (aktif dan tingkah laku)
3)      Belajar melalui balikan. Para pengamat mengomentari (menanggapi) prilaku para pemain atau pemegang peran yang telah ditmpilkan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan prosedur-prosedur kognitif dan prinsip-prinsip yang mendasari prilaku yang telah didramatisasikan.
4)      Belajar melalui pengkajian, penilaian, dan pengulangan. Para peserta dapat memperbaiki keterangan-keterangan mereka dengan mengulanginya dalam penampilan berikutnya.
Djamarah dan Aswan (2006:88), berpendapat bahwa tujuan metode bermain peran adala agar 1) siswa dapat menghayati dan menghargai pendapat perasaan orang lain, 2) dapat belajar bagaimana mengambil keputusan dalam situasi kelompok secara spontan, 4) merangsang kelas untuk berfikir dan memecahkan masalah. Lain lagi, dengan Sentosa, dkk (2008:18), menurutnya tujuan metode bermain peran adalah agar siswa dapat 1) memahami perasaan orang lain, 2) menempatkan diri dalam situasi orang lain, 3) mengerti dan menghargai perbedaan pendapat.
Bermain peran dapat menganggap dirinya sebagai orang lain yang tujuan untuk mempelajari bagaimana orang lain bertindak dan merasakan. Bermain suatu permainan yang member kesempatan bagi siswa yang terlibat  untuk  “menjadi orang lain” dan bukan dirinya sendiri, dan di dalam proses yang baik mungkin akan memperoleh gagasan tentang orang lain. Bermain peran mempunyai berbagai fungsi, namun dua fungsi utamanya yaitu “education for citizen” (pendidikan untuk warga negara) dan “group counseling” (sekelompok pemberi nasehat) yang dilakukan oleh guru di kelas.
Corsini (dalam Tatiek, 2001:99) menyatakan bahwa bermain peran dapat digunakan sebagai : (a) alat untuk mendiagnosis dan mengerti seseorang dengan cara mengamati perilakunya waktu memerankan dengan spontan situasi-situasi atau kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya, (b) media pengajaran, melalui proses “modeling” anggota dapat lebih efektif melalui keterampilan-keterampilan antar pribadi dengan mengamati berbagai macam cara dalam memecahkan masalah, dan (c) metode latihan untuk melatih keterampilan-keterampilan tertentu melalui keterlibatan secara aktif dalam proses bermain peran.
9.      Kelemahan Bermain Peran
Bermain peran mempunyai beberapa kelemahan,antara lain:
a.       Jika siswa tidak dipersiapkan dengan baik ada kemungkinan tidak akan melakukan secara sungguh-sungguh.
b.      Bermain peran memungkinkan tidak akan berjalan dengan baik jika seasana kelas tidak mendukung.
c.       Bermain peran tidak selamanya menuju pada arah yang diharapkan seseorang  yang  memainkannya. Bahkaan juga mungkin akan berlawanan dengan apa yang diharapkannya.
d.      Siswa sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara baik khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan baik. Siswa perlu mengenal dengan baik apa yang akan diperankannya.
e.       Bermain peran memakan waktu yang banyak.
f.       Untuk berjalan baiknya sebuah bermain peran, diperlukan kelompok yang sensitif, imajinatif, terbuka, saling mengenal sehingga dapat bekerjasama dengan baik. Sebagai strategi brlajar mengajar, bermain peran harus dipersiapkan dengan baik di mana semua yang terlibat baik sebagai pemeran maupun yang menyaksikannya saling memiliki keterlibatan emosional sehingga antara yang memerankan dan yang menyaksikan peran dapat memetik pelajaran dari kegiatan yang dilakukan secara bermain peran tersebut. Agar penggunaan metode bermain peran dapat berjalan dengan baik maka perlu juga diketahui masalah-masalah sosial yang dapat dijajagi dengan metode  bermain peran.
Masalah-masalah sosial yang dimaksud diantaranya adalah:
1)      Pertentangan antar pribadi-pribadi (interpersonal conflicts)
a.       Mengungkapkan perasaan yang bertentangan.
b.      Menemukan cara-cara pemecahannya.
2)      Hubungan anbtar kelompok (intergroup relations)
a.       Mengungkapkan hubungan antar suku, bangsa, kepercayaan, dan sebagainya.
b.      Mengungkapkan masalah yang sering merupakan konflik yang tidak nyata. Penggunaan bermain peran dalam hal  ini adalah untuk mengungkapkan prasangka dan mendorong toleransi.
3)      Kemelut pribadi (individual dilemmas)
a.       Kemelut timbul jika seseorang berada pada dua nilai atau kepentingan yang berbeda.
b.      Jika sulit memecahkan permasalahan karena penilaian yang bersifat egosentris.

Dengan berorientasi pada masalah lampau dan kini (Historical or contemporary problems). Menunjukkan misalnya berapa sulitnya permasalahan yang dihadapi pada masa lampau dan juga masa kini khususnya bagi para pejabat pemerintahan atau pimpinan politik dalam menghadapi berbagai permasalahan yang menuntut pengambilan keputusan.