1.
Hakikat Bermain Peran
Hakikat pembelajaran bermain peran terletak pada
keterlibatan emosional pemeran dan pengamat dalam situasi masalah yang secara
nyata dihadapi. Melalui bermain peran dalam pembelajaran, diharapkan para
peserta didik dapat (1) mengeksplorasi perasaannya; (2) memperoleh wawasan
tentang sikap, nilai, dan persepsinya; (3) mengembangkan keterampilan dan sikap
dalam memecahkan masalah yang dihadapi; dan (4) mengeksplorasi inti
permasalahan yang diperankan melalui berbagai cara.
Istilah bermain peran mempunyai empat pengertian,
yaitu (1) sesuatu yang bersifat sandiwara di mana pemain memainkan peran
tertentu sesuai dengan lakon yang sudah ditulis dan memainkannya untuk tujuan
hiburan; (2) sesuatu yang bersifat sosiologis atau pola-pola perilaku yang
ditentukan oleh norma-norma sosial; (3) suatu perilaku tiruan atau tipuan di
mana seseorang berusaha memperbodoh orang lain dengan jalan berperilaku
berlawanan dengan apa yang sebenarnya diharapkan, dirasakan, atau diinginkan;
dan (4) sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan di mana individu memerankan
situasi yang imajinatif dengan tujuan untuk membantu tercapainya pemahaman diri
sendiri, meningkatkan keterampilan, menunjukkan perilaku kepada orang lain
bagaimana perilaku seseorang atau bagaimana seseorang harus bertingkahlaku.
Corsini (dalam Tatiek, 2001 : 99). Bennet, dalam
Tatiek (2001 : 99) mengemukakan bahwa bermain peran adalah suatu alat belajar
yang mengembangkan keterampilan-keterampilan dan pengertian-pengertian mengenai
hubungan antar manusia dengan jalan memerankan situasi-situasi yang paralel
dengan yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya.
Corsini, dalam Tatiek (2001 : 99) menyatakan bahwa
bermain peran dapat digunakan sebagai : (a) alat untuk mendiagnosis dan
mengerti seseorang dengan cara mengamati perilakunya waktu memerankan dengan
spontan situasi-situasi atau kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan
sebenarnya; (b) media pengajaran, melalui proses “modeling” anggota dapat lebih
efektif melalui keterampilan-keterampilan antar pribadi dengan mengamati
berbagai macam cara dalam memecahkan masalah; dan (c) metode latihan untuk
melatih keterampilan-keterampilan tertentu melalui keterlibatan secara aktif
dalam proses bermain peran.
Bermain peran pada prinsipnya merupakan metode untuk
‘menghadirkan’ peran-peran yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu
‘pertunjukan peran’ di dalam kelas/pertemuan, yang kemudian dijadikan sebagai
bahan refleksi agar peserta memberikan penilaian terhadap . Misalnya: menilai
keunggulan maupun kelemahan masing-masing peran tersebut, dan kemudian
memberikan saran/ alternatif pendapat bagi pengembangan peran-peran tersebut.
Metode ini lebih menekankan terhadap masalah yang diangkat dalam ‘pertunjukan’,
dan bukan pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran.
Dari sekian banyak pengertian bermain peran, dapat
disimpulkan bahwa bermain peran adalah suatu kegiatan yang di dalamnya
melakukan perbuatan-perbuatan yaitu gerakan-gerakan wajah (ekspresi) sesuai
dengan apa yang diceritakan.
Bermain peran dalam pembelajaran
merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta
langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi. Untuk
kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran dan yang
lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu menghayati peran yang
dimainkannya. Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yang
juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih. Strategi Role
Playing (bermain peran) termasuk metode pementasan drama yang sangat
sederhana. Peran diambil dari kisah kehidupan nyata sehari-hari (bukan
imajinatif).
2.
Manfaat Bermain Peran
Model pembelajaran bermain peran bermanfaat untuk
mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan sambil menyimak
secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang
dihadapinya. Melalui bermain peran dalam
pembelajaran, peserta didik juga dapat mengekplorasi perasaannya, memperoleh
wawasan tentang sikap, nilai dan persepsinya mengenai suatu hal, mengembangkan
keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi dan mengekplorasi
inti permasalahan yang diperankan melalui berbagai cara. Secara garis besar,
manfaat lain dari bermain peran adalah sebagai berikut:
- Kreativitas
Dengan bermain peran kreativitas
peserta didik dapat lebih terasah karena dalam dunia khayalan, anak bisa jadi
apa saja dan melaukan apa saja sesuai dengan peran yang dimainkannya.
- Disiplin
Saat bermain peran, biasanya ia
mengambil peraturan dan pola hidupnya sehari-hari. Misalnya, saat ia bermain
peran sebagai orangtua yang menidurkan
anaknya, ia akan bersikap dan mengatakan seperti apa yang ia sering dilakukan
dan dikatakan oleh orangtuanya.
Sehingga secara tak langsung, ia pun membangun kedisiplinan dan keteraturan
pada dirinya sendiri
- Keluwesan
Saat bermain peran, secara tidak
langsung anak-anak mulai belajar
untuk mengatasi rasa takut dan hal-hal yang sebelumnya berbeda bagi mereka
Dengan bimbingan dan perumpamaan ini, diharapkan rasa takut atau trauma si
kecil akan lebih berkurang.
3.
Jenis Bermain Peran
Ada dua jenis
bermain peran, yaitu mikro dan makro.
1.
Bermain
peran mikro, anak-anak belajar menjadi sutradara, memainkan boneka, dan mainan
berukuran kecil seperti rumah-rumahan, kursi sofa mini, tempat tidur mini
(seperti bermain boneka barbie). Biasanya mereka akan menciptakan percakapan
sendiri.
2.
Dalam
bermain peran makro, anak berperan menjadi seseorang yang mereka inginkan. Bisa
mama, papa, tante,polisi, sopir, pilot, dsb.
Saat bermain
peran ini bisa menjadi ajang belajar bagi mereka, baik belajar membaca,
berhitung, mempelajari proses/alur dalam mengerjakan sesuatu, mengenal tata
tertib/tata cara di suatu tempat, yang semua ada dalam kehidupan kita. Tentu
saja kita hanya cukup memberikan informasi sebelum mereka mulai bermain, dan
atau lebih bik kalo kita terlibat dalam permainan tersebut agar kita bisa
menggali imaginasi dan mengenalkan informasi yang ingin kita kenalkan.
4.
Langkah-langkah Bermain Peran
Dalam bermain peran langkah-langkah yang
harus ditempuh yaitu ada empat langkah sebagai berikut menurut Hesti dkk,
(2004) :
(a)
Membacakan naskah drama atau percakapan dengan intonasi jeda, lafal, dan volume
suara yang sesuai. Kalimat-kalimat dalam kurung tidak perlu dibaca, karena
kalimat-kalimat tersebut merupakan petunjuk laku.
(b)
Menentukan watak tokoh dan ekspresi yang tepat untuk memerankan tokoh tersebut.
(c) Berlatih berulang-ulang sampai betul-betul dapat memerankan tokoh dengan baik.
(d) Menggunakan perlengkapan panggung dan kostum yang sesuai agar percakapan yang diperankan lebih hidup.
(c) Berlatih berulang-ulang sampai betul-betul dapat memerankan tokoh dengan baik.
(d) Menggunakan perlengkapan panggung dan kostum yang sesuai agar percakapan yang diperankan lebih hidup.
Apabila hal-hal di atas dapat dilakukan
dengan baik dan sungguh-sungguh, maka secara otomatis akan menjadikan hidupnya
percakapan karena dilakukan oleh anak-anak yang aktif dan kreatif sesuai dengan
watak tokoh masing-masing.
.
Selanjutnya, Shaffel dan
Shaffel, 1967 (dalam Herman J. Waluyo, 2008: 196) menyebutkan ada Sembilan langkah
dalam role playing, yaitu: (1) memotivasi kelompok; (2) memilih pemeran (casting
); (3) menyiapkan pengamat; (4) menyiapkan tahap-tahap peran; (5) pemeranan
(pentas di depan kelas); (6) diskusi dan evaluasi I (spontanitas) ; (7)
pemeranan (pentas) ulang; (8) diskusi dan evaluasi II, pemecahan masalah, dan
(9) membagi pengalaman dan menarik generalisasi. Dari role playing dapat
dicapai aspek perasaan, sikap, nilai, persepsi, keterampilan pemecahan masalah,
dan pemahaman terhadap pokok permasalahan. Unsur sampingan yang dapat dicapai
melalui role playing adalah: (1) analisis nilai dan perilaku pribadi,
(2) pemecahan masalah, (3) empati terhadap orang lain, (4) masalah social dan
nilai; dan (5) kemampuan mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang
lain.
5.
Metode Bermain Peran
Metode bermain peran atau teknik
pengajaran adalah suatu cara penguasaan pelajaran kegiatan pengembangan
imajinasi penghayatan suatu tokoh tertentu. Tarigan dkk (1991 : 389). Teknik
bermain peran sangat baik dalam mendidik siswa untuk menggunakan ragam-ragam
bahasa. Bermain peran dapat dilakukan dalam berbagai macam peranan. Seseorang
dapat memerankan berbagai peran dalam satu harinya, misalnya sebagai seorang
ibu, istri, teman, kepala sekolah, penjual, pembeli, dan sebagainya. Pada
setiap peranan tersebut seorang anak harus dapat berperilaku sesuai dengan
peran yang dilakukannya. Cara anak berperilaku pada setiap peranan tersebut
bergantung pada status atau posisinya dengan pasangan perannya. Jadi, perilaku
ibu kepada anaknya berbeda dengan perilakunya terhadap suaminya dan berbeda
pula dengan perilakunya terhadap bawahannya di sekolah.
Cara berbicara orang tua tentu berbeda
dengan cara berbicara anak muda, cara berbicara pembeli berbeda dengan cara
berbicara penjual. Fungsi dan peranan seseorang menuntut cara berbicara atau
berbahasa tertentu pula. Tarigan dkk (1991 : 389). Dalam bermain peran, siswa
bertindak, berlaku, dan berbahasa sesuai dengan peranan tokoh yang
diperankannya. Misalnya sebagai guru, polisi, hakim, dokter, pedagang, dan
sebagainya. Setiap tokoh tertentu menuntut karakteristik tertentu pula. Dengan
kata lain kepribadian seseorang adalah keseluruhan peranan yang diperankannya
dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan
sekalipun. Seseorang dapat dikatakan mempunyai penyesuaian diri yang baik
apabila dapat berperilaku sesuai dengan peranan yang dimilikinya baik sebagai
individu maupun makhluk sosial.
Metode bermain peran adalah salah satu proses belajar
mengajar yang tergolong dalam metode simulasi. Menurut Dawson (1962) yang
dikutip oleh Moedjiono & Dimyati (1992:80) mengemukakan bahwa simulasi
merupakan suatu istilah umum berhubungan dengan menyusun dan mengoperasikan
suatu model yang mereplikasi proses-proses perilaku. Sedangkan menurut Ali
(1996:83) mengemukakan bahwa metode simulasi adalah suatu cara pengajaran
dengan melakukan proses tingkah laku secara tiruan.
Metode pengajaran simulasi terbagi menjadi 3 kelompok
seperti yang dikemukakan oleh Ali (1996:83) berikut ini ; (1) Sosiodrama :
semacam drama sosial berguna untuk menanamkan kemampuan menganalisa situasi
sosial tertentu, (2) Psikodrama : hampir mirip dengan sosiodrama . Perbedaan
terletak pada penekannya. Sosia drama menekankan kepada permasalahan sosial,
sedangkan psikodrama menekankan pada pengaruh psikologisnya dan (3)
Role-Playing : role playing atau bermain peran bertujuan menggambarkan suatu
peristiwa masa lampau. Sedangkan Moedjiono & Dimyati (1992:80) juga
membagi metode pengajaran simulasi menjadi 3 kelompok seperti berikut ini :
(1) Permainan
simulasi (simulation games) yakni suatu permainan di mana para pemainnya
berperan sebagai tempat pembuat keputusan, bertindak seperti jika mereka
benar-benar terlibat dalam suatu situasi yang sebenarnya, dan / atau
berkompetisi untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan peran yang
ditentukan untuk mereka.
(2) Bermain peran (role playing) yakni memainkan
peranan dari peran-peran yang sudah pasti berdasarkan kejadian terdahulu,
yang dimaksudkan untuk menciptakan kembali situasi sejarah/peristiwa masa
lalu, menciptakan kemungkinan-kemungkinan kejadian masa yang akan datang,
menciptakan peristiwa mutakhir yang dapat diperkaya atau mengkhayal situasi
pada suatu tempat dan/ atau waktu tertentu, dan
(3) Sosiodrama (sociodrama) yakni suatu
pembuatan pemecahan masalah kelompok yang dipusatkan pada suatu masalah yang
berhubungan dengan relasi kemanusiaan. Sosiodrama memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menentukan alternatif pemecahan masalah yang timbul dan
menjadi perhatian kelompok.
Berdasarkan kutipan tersebut, berarti metode bermain peran adalah metode pembelajaran yang di dalamnya menampakkan adanya perilaku pura-pura dari siswa yang terlihat dan/ atau peniruan situasi dari tokoh-tokoh sejarah sedemikian rupa. Dengan demikian metode bermain peran adalah metode yang melibatkan siswa untuk pura-pura memainkan peran/ tokoh yang terlibat dalam proses sejarah. |
|
6.
Model
Bermain Peran
Melalui bermain peran (role playing), para peserta didik
mencoba mengeksplorasi hubungan antar manusia dengan cara memperagakannya dan
mendiskusikannya sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat
mengeksplorasi perasaan, sikap, nilai, daan berbagai strategi pemecahan
masalah. Sebagai suatu model pembelajaran, bermain peran berakar pada dimensi
pribadi dan social.
Dari
dimensi pribadi model ini berusaha membantu peserta didik menemukan makna dari
lingkungan social yang bermanfaat bagi dirinya. Juga melalui model ini para
peserta didik diajak untuk belajar memecahkan masalah pribadi yang sedang
dihadapinya dengan bantuan kelompok social yang beranggotakan teman-teman
sekelas. Dari dimensi sosial, model ini memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk bekerja sama dalam menganalisis situasi sosial, terutama masalah
yang menyangkut hubungan antar pribadi peserta didik. Pemecahan masalah
dilakukan secara demokratis. Dengan demikian melalui model ini peserta didik
juga dilatih untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis.
Pembelajaran
partisipatif merupakan fenomena yang sedang tumbuh dalam pendidikan, baik
pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Setiap jenis pembelajaran
menggunakan metode dan teknik yang disesuaikan dengan factor-faktor yang ada
disekelilingnya. Agar pembelajaran partisipatif berjalan efisien dan efektif
mencapai sasarannya, maka diperlukan metode dan teknik-teknik pembelajaran
partisipatif.
Menurut
Dr. E. Mulyasa, M.Pd. (2004:141) terdapat empat asumsi yang mendasari
pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai sosial,
yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi
tersebut sebagai berikut:
a. Secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
b. Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
c. Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Denagn demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.
a. Secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
b. Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
c. Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Denagn demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.
d. Model bermain peran berasumsi
bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan
system keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan
secara spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan
nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya
perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik
sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
7.
Teknik
Bermain Peran
Leonard H. Clark dalam Abdul Azis (2007:112)
mengemukakan teknik bermain peran dengan fase dan kegiatannya sebagai berikut:
1) Persiapan
a. Persiapan
untuk bermain peran;
·
Memilih permasalahan yang mengandung pandangan-pandangan
yang berbeda dan kemungkinan pemecahannya.
·
Mengarahkan siswa pada situasi dan masalah
yang akan dihadapi.
b. Memilih
pemain.
·
Pilih secara sukarela, jangan diipaksa.
·
Sebisa mungkin pilih pemain yang dapat
mengenali peran yang akan dibawakannya.
·
Hindari pemanin yang ditunjuk sendiri oleh
siswa.
·
Pilih beberapa pemain agar seorang tidak
memainkan dua peran sekaligus.
·
Setiap kelompok pemain npaling banyak 5 orang.
·
Hindari siswa membawakan peran yang dekat dengan kehidupan sebenarnya.
c. Mempersiapkan
penonton
·
Harus yakin
bahwa pemirsa mengetahui keadaan dan tujuan bermain peran.
·
Arahkan mereka begaimana seharusnya
berperilaku.
d. Persiapkan
para pemain
·
Biarkan siswa mempersiapkannya dengan sedikit
mungkin campur tangan guru.
·
Sebelum bermain setiap pemain harus memahami
betul apa yang dilakukannya.
·
Permainan harus lancar, dan sebaiknya ada kata pembukaan, tetapi hindari melatih
kembali saat sudah siap bermain.
·
Siapkan tempat dengan baik.
·
Kadang-kadang “kelompok kecil bermain peran”
merupakan cara yang baik untuk bermain peran.
e. Pelaksanaan
·
Upayakan agar singkat, bagi pemula lima menit
sudah cukup, dan bermain sampai habis, jangan diinterupsi.
·
Biarkan agar spontanitas menjadi kunci.
·
Jangan menilai aktingnya, bahasanya dan lain-lain.
·
Biarkan siswa bermain bebas dari angka dan
tingkatan.
·
Jika terjadi kemacetan hal yang dapat
dilakukan misalnya;
-
Dibimbing dengan pertanyaan.
-
Mencari orang lain untuk peran itu.
-
Menghentikan dan melangkah ke tindak lanjut.
·
Jika pemain tersesat lakukan:
-
Rumuskan kembali keadaan dan masalah.
-
Simpulkan apa yang sudah dilakukan.
-
Hentikan dan arahkan kembali.
-
Mulai kembali setelah ada penjelasan singkat.
·
Jika siswa
mengganggu:
-
Tugasi dengan peran khusus.
-
Jangan pedulikan dia.
·
Jangan bolehkan pemirsa mengganggu.
Jika tidak setuju dengan cara temannya memerankan beri ia kesempatan
untuk memerankannya.
f. Tindak
lanjut
·
Diskusi
-
Diskusi tindak lanjut yang dapat memberi
pengaruh yang besar terhadap sikap dan pengetahuan siswa.
-
Diskusi juga dapat menganalisis, menafsirkan,
member jalan keluar atau merekreasi.
-
Di dalam diskusi sebaiknya dinilai apa yang
telah dipelajari.
·
Melakukan bermain peran kembali
Kadang-kadang memainkan kembali dapat memberi pemahaman yang lebih
baik.
8.
Tujuan
Bermain Peran
Menurut Sujadi
(1983: 73) bermain peran dimaksudkan untuk memecahkan suatu masalah agar siswa
memperoleh kesempatan untuk merasakan perasaan orang lain. Pakar lain, Hidayat
dan Muhyidin (1980: 29) menyatakan dengan model interaksi seperti ini, akan
membantu siswa dalam 1) mengembangkan perasaannya, 2) mengembangkan sikapnya,
3) mengembangkan keterampilannya dalam memecahkan suatu masalah dan 4)
mengembangkan berbagai cara belajar.
Menurut
Hamalik(2008: 199) tujuan bermain peran adalah sebagai berikut
1) belajar dengan berbuat, para siswa melakukan peranan tertentu
sesuia dengan kenyataan yang sesungguhnya. Tujuannya adalah untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan
interaktif atau keterampilan-keterampilan reakif.
2) Belajar melalui peniruan (mitasi) para siswa pengamat dram menyamakan diri dengan pelaku
(aktif dan tingkah laku)
3) Belajar melalui balikan. Para pengamat mengomentari (menanggapi)
prilaku para pemain atau pemegang peran yang telah ditmpilkan. Tujuannya adalah
untuk mengembangkan prosedur-prosedur kognitif dan prinsip-prinsip yang mendasari
prilaku yang telah didramatisasikan.
4) Belajar melalui pengkajian, penilaian, dan pengulangan. Para
peserta dapat memperbaiki keterangan-keterangan mereka dengan mengulanginya
dalam penampilan berikutnya.
Djamarah dan Aswan (2006:88), berpendapat
bahwa tujuan metode bermain peran adala agar 1) siswa dapat menghayati dan
menghargai pendapat perasaan orang lain, 2) dapat belajar bagaimana mengambil
keputusan dalam situasi kelompok secara spontan, 4) merangsang kelas untuk
berfikir dan memecahkan masalah. Lain lagi, dengan Sentosa, dkk (2008:18),
menurutnya tujuan metode bermain peran adalah agar siswa dapat 1) memahami
perasaan orang lain, 2) menempatkan diri dalam situasi orang lain, 3) mengerti
dan menghargai perbedaan pendapat.
Bermain peran dapat menganggap dirinya sebagai orang lain yang tujuan
untuk mempelajari bagaimana orang lain bertindak dan merasakan. Bermain suatu
permainan yang member kesempatan bagi siswa yang terlibat untuk
“menjadi orang lain” dan bukan dirinya sendiri, dan di dalam proses yang
baik mungkin akan memperoleh gagasan tentang orang lain. Bermain peran
mempunyai berbagai fungsi, namun dua fungsi utamanya yaitu “education for citizen” (pendidikan untuk
warga negara) dan “group counseling” (sekelompok
pemberi nasehat) yang dilakukan oleh guru di kelas.
Corsini (dalam Tatiek, 2001:99) menyatakan bahwa bermain peran dapat
digunakan sebagai : (a) alat untuk mendiagnosis dan mengerti seseorang dengan
cara mengamati perilakunya waktu memerankan dengan spontan situasi-situasi atau
kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya, (b) media
pengajaran, melalui proses “modeling”
anggota dapat lebih efektif melalui keterampilan-keterampilan antar pribadi
dengan mengamati berbagai macam cara dalam memecahkan masalah, dan (c) metode
latihan untuk melatih keterampilan-keterampilan tertentu melalui keterlibatan
secara aktif dalam proses bermain peran.
9.
Kelemahan Bermain
Peran
Bermain peran mempunyai beberapa
kelemahan,antara lain:
a. Jika siswa
tidak dipersiapkan dengan baik ada kemungkinan tidak akan melakukan secara
sungguh-sungguh.
b. Bermain
peran memungkinkan tidak akan berjalan dengan baik jika seasana kelas tidak
mendukung.
c. Bermain
peran tidak selamanya menuju pada arah yang diharapkan seseorang yang
memainkannya. Bahkaan juga mungkin akan berlawanan dengan apa yang
diharapkannya.
d. Siswa
sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara baik khususnya jika
mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan baik. Siswa perlu mengenal
dengan baik apa yang akan diperankannya.
e. Bermain
peran memakan waktu yang banyak.
f. Untuk
berjalan baiknya sebuah bermain peran, diperlukan kelompok yang sensitif,
imajinatif, terbuka, saling mengenal sehingga dapat bekerjasama dengan baik.
Sebagai strategi brlajar mengajar, bermain peran harus dipersiapkan dengan baik
di mana semua yang terlibat baik sebagai pemeran maupun yang menyaksikannya
saling memiliki keterlibatan emosional sehingga antara yang memerankan dan yang
menyaksikan peran dapat memetik pelajaran dari kegiatan yang dilakukan secara
bermain peran tersebut. Agar penggunaan metode bermain peran dapat berjalan
dengan baik maka perlu juga diketahui masalah-masalah sosial yang dapat dijajagi
dengan metode bermain peran.
Masalah-masalah sosial yang dimaksud
diantaranya adalah:
1) Pertentangan
antar pribadi-pribadi (interpersonal
conflicts)
a. Mengungkapkan
perasaan yang bertentangan.
b. Menemukan
cara-cara pemecahannya.
2) Hubungan
anbtar kelompok (intergroup relations)
a. Mengungkapkan
hubungan antar suku, bangsa, kepercayaan, dan sebagainya.
b. Mengungkapkan
masalah yang sering merupakan konflik yang tidak nyata. Penggunaan bermain
peran dalam hal ini adalah untuk
mengungkapkan prasangka dan mendorong toleransi.
3) Kemelut
pribadi (individual dilemmas)
a. Kemelut
timbul jika seseorang berada pada dua nilai atau kepentingan yang berbeda.
b. Jika
sulit memecahkan permasalahan karena penilaian yang bersifat egosentris.