Tuesday 23 October 2012

Analisis Objektif Dalam Novel Rahasia Meede Karya E. S. Ito


Karya sastra menurut ragamnya dibedakan atas prosa, puisi, dan drama. Cerita rekaaan merupakan jenis karya sastra yang beragam prosa. Berdasarkan panjang-pendek cerita, ada yang membeda-bedakan cerita rekaan dengan sebutan cerpen, cermen (cerita menengah) , dan cerpan (cerita panjang) (Saad, 1967).


Menurut Horatius, karya sastra memang bersifat dulce et utile; menyenangkan dan bermanfaat. Demikian pula cerita rekaan sebagai karya sastra seharusnya menarik dan merangsang ingin tahu. Semua cerita rekaan ada kemiripan dengan sesuatu dalam hidup ini, karena bahannya diambil dari pengalaman hidup. Pengalaman ini dapat berupa pengalaman langsung yaitu yang dialami secara langsung oleh pengarang, dapat juga berupa pengalaman tak langsung yaitu pengalaman orang lain yang secara tak langsung sampai kepada pengarang. Dengan menggunakan berbagai sarana literer pengarang menyajikan cerita yang mirip dengan kenyataan. Dari sekian banyak bentuk sastra seperti esei, puisi, novel, cerita pendek, drama, bentuk novel, cerita pendeklah yang paling banyak dibaca oleh para pembaca. Karya– karya modern klasik dalam kesusasteraan, kebanyakan juga berisi karya– karya novel.
Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Novel adalah novel syarat utamanya adalah bawa ia mesti menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah orang habis membacanya.
Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka. Yang penting memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Tradisi novel hiburan terikat dengan pola – pola. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel serius punya fungsi social, sedang novel hiburan Cuma berfungsi personal. Novel berfungsi social lantaran novel yang baik ikut membina orang tua masyarakat menjadi manusia. Sedang novel hiburan tidak memperdulikan apakah cerita yang dihidangkan tidak membina manusia atau tidak, yang penting adalah bahwa novel memikat dan orang mau cepat–cepat membacanya. Menurut Dr. Nurhadi, Dr. Dawud, Dra. Yuni Pratiwi, M.Pd, Dra. Abdul Roni, M. Pd, Novel adalah bentuk karya sastra yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya social, moral, dan pendidikan
Berbicara mengenai anatomi fiksi berarti berbicara tentang struktur fiksi atau unsur-unsur yang membangun fiksi itu. Struktur fiksi itu secara garis besar dibagi atas dua bagian; struktur luar dan struktur dalam. Menurut Drs. Rostamaji,M.Pd, Agus priantoro, S.Pd, Novel merupakan karya sastra yang mempunyai dua unsure, yaitu : unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang keduanya saling berhubungan karena sangat berpengaruh dalam kehadiran sebuah karya sastra. Unsur intrisik terdiri dari tema, amanat, penokohan, alur, dan setting.
Rahasia Meede merupakan karya kedua E.S. Ito setelah Negara Keliam. Sebagaimana novel-novelnya yang dipenuhi misteri, E. S. Ito pun merupakan seorang pengarang yang penuh meisteri. Ia tak suka publikasi, di foto, bahkan data dirinya yang dilampirkan di novelpun minim sekali. E. S. Ito adalah salah satu dari beberapa penulis yang menyukai gebrakan. Di saat penulis-penulis lain lebih memilih mengangkat unsure pop, ia memilih mengangkat tema yang berbeda yakni fiksi thriller sejarah. Hanya segelintir yang menyukai dan mampu menulis tipe seperti ini dan E. S Ito adalah salah satunya.
Sebagaimana karya sastra lainnya, Rahasia Meede jugha disusun oleh unsur-unsur fiksi, yakini intrinsic dan ekstrinsik. Kedua unsure tersebut yang menjadikan novel ini begitu memukau. Namun, kali ini kita hanya akan membahas novel Rahasia Meede dari segi intrinsiknya saja, yaitu: alur, sudut pandang, latar, dan gaya bahasa. 
Menurut Sudjiman (1986), sesengguhnya pengaluran adalah pengaturan urutan penampilan peristiwa untuk memenuhi beberapa tuntutan. Dengan demikian, peristiwa-peristiwa juga dapat tersusun dengan memperhatikan hubungan kausalnya (sebab-akibat). Forster (1985:86) mengutamakan hubungan sebab akibat itu. Ia mengatakan bahwa, “a story is a narrative of events arranged in their times sequences. A plot is a narrative of events, the emphasis falling on causality. Causality overshadows time sequences.” Akan tetapi, dalam novel yang tersusun rapi, hubungan kausalitas ini tak selalu segera tampak. Kuncinya mungkin terdapat dalam urutan waktu peristiwa yang meloncat-loncat atau dal gerakan atau dalam ucapan tertentu dari salah seorang tokoh.
Hal itulah yang tercermin dari novel Rahasia Meede, karya E. S. Ito. Pada awalnya, kita cukup dibingungkan dengan cerita yang terkesan tidak berhubungan dan acak-acakan. Mulanya, kita disuguhkan situasi pada saat delegasi Indonesia yang diwakili oleh Muhammad Hatta di Konferensi Meja Bundar sedang berdiskusi dengan kawan-kawannya. Kemudian, pada bab 1 kita mendapati perjalanan seorang wartawan bernama Batu yang meliput ke daerah Boven Digoel. Di sana, ia menguak berita tentang pembunuhan seorang pria. Pria tersebut diindikasikan bernama Joko Prianto Surono, seorang birokrat yang dibunuh kemudian di buang ke Boven Digoel. Ternyata, kematian pria tersebut berhubunagn dengan sebuah pembunuhan berantai.
Pada bab 2, kita mendapati kisah yang berbeda. Di bagian ini diceritakan tiga orang peneliti dari Belanda yang berusaha menguak misteri sebuah terowongan bawah tanah.
Pada bab 3, lain lagi. Bab ini berkisah tentang seorang guru sejarah di sebuah SMA. Guru tersebut dipanggil Guru Uban. Diceritakan bagaimana hormatnya orang-orang kampung pada dirinya, serta kehidupannya yang membujang dan vegetarian.
Bab 4 memaparkan seorang wanita bernama Cathleen Zwinkel. Ia seorang anita Belanda yang menuntut ilmu di Universitas Leiden, Belanda. Ia sengaja datang ke Indonesia suna mencari informasi untuk bahan tesisnya tentang sejarah ekonomi kolonial di Indonesia.
Sekilas, cerita ini terkesan terpotong-potong. Namun, di sinilah terletak kepiawaian sang pengarang. E. S. Ito sengaja menyajikan potongan-potongan mozaik peristiwa untuk kemudian dirangkai sendiri oleh pembaca. Plot awal yang unik adalah penuntun ke kisah-kisah selanjutnya. Jika kita membacanya lebih jauh, maka akan didapatkan kesan bahwa bagian awal yang terpotong-potong merupakan pembuka dari peristiwa-peristiwa yang akan terjadi berikutnya.
Pada umumnya, alur yang di gunakan di dalam novel ini adalah alur maju. Hal ini tergambar dari peristiwa-peristiwa yang berkaitan. Dimana peristiwa yang sebelumnya merupakan sebab terjadinya akibat di peristiwa berikutnya. Dapat kita buktikan, diman awalnya ditemukan sebuan lorong di bawah tanah Kota Jakarta. Kemudian kedatangan Cathleen sang tokoh utama lalu dilanjutkan perburuan informasi-informasi yang membimbing pembaca kea rah penemuan harta karun.
Namun,   disana-sini dapat ditemukan alur sorot balik yang digunakan pengarang. Alur sorot balik ini selain digunakan untuk penegas peristiwa yng terjadi berikutnya, juga digunakan untuk menambah ketegangan (suspense). Yang dimaksud dengan tegangan ialah ketidak pastian yang berkepanjangan dan semakin menjadi-jadi (Sudjiman, 1986:74). Adanya tegangan dalam novel ini mentebabkan pembaca terpancing keingintahuannya akan kelanjutan kisah serta akan penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh.
Ibarat sayur tanpa garam, sebuah novel tak akan lengkap tanpa adanya latar. Latar merupakan penanda identitas permasalahan fiksi yang mulai samar diperlihatkan alur atau penikohan (Hasanudin dan Muhardi, 2006:37). Secara terperinci, latar meliputi penggambaran lokasi geografis, perincian perlengkapan sebuah ruangan, pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh, waktu berlakunya kejadian, lingkungan, agama, moral, intelektual, social, dan emosional para tokoh (Kenney, 1966:40).
Di dalam novel rahasia meede, latar yang disajikan dapat memukau pembaca. E. S. Ito begitu manisnya menggambarkan detail setiap tempat yang ada di dalam novelnya. Hudson (1963) membedakan latar menjadi latar sosial dan latar fisik/material. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial,dan sikapnya, adaat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa.
Pada novel Rahasia Meede, ada beberapa latar social yang disajikan E. S. Ito. Awalnya, kita diajak mengenal latar social Kota Jakarta. Di Jakarta, cara hidup mereka yang hedonis disajikan dengan baik. Masyarakat Jakarta digambarkannya hobi hura-hura, pergi ke diskotik, dan bersenang-senang. Tetapi, sang pengarang tidak Cuma menggambarkan kebiasaan orang-orang berada di Jakarta saja. Pengarang juga memeaparkan bagaimana ikeadaan masyarakat pinggirannya, cara hidup, kebiasaan masyarakat daerah pesisir, dan lai-lain. Pengarang juga dapat menunjukkan bagaimana kehidupan masyarakat Maluku. Di novel tersebut yang paling menarik adalah pemaparan latar social Pulau Mentawai dengan detail lengkap. Di novel tersebut digambarkan bahwa Masyarakat Mentawai masih banyak yang berpegang teguh pada adapt nenek moyang mereka, juga dilukiskan kebiasaan mereka menato diri, bahasa mereka yang berbeda dengan daerah Padang yang tak begitu jauh dari Pulau Mentawai, cara hidup mereka yang meskipun sangat bergantung pada alam, namun mereka tetap berusaha melestarikan alam sekitar mereka.
Sedangkan latar fisik adalah tempat yang ujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya. Dalam novel Rahasia Meede, kita bisa mengetahui bagaimana bentuk Museum Sejarah Jakarta, bangunan tua peninggalan Belanda, rumah adapt suku Mentawai, dan lai-lain.
Sebuah latar dapat menjadi penentu dari sebuah novel. Watak tokoh, konflik yang terjadi, endinh sebuah novel dapat digambarkan atau dibantu penggambarannya oleh latar. Makin jelas detail sebuah latar, makin hidup novel tersebut. Latar yang mendetail juga dapat mencegah terjadinya kebingungan akan peristiwa yang tengah terjadi dalam sebuah novel. Bagaimanapun, novel sejarah yang baik dapat memberikan gambaran yang hidup kepada pembaca tentang kehidupan, kegemilangan, dan penderitaan sekelompok orang pada masa tertentu dalam sejarah, serta adapt, kebiasaan, dan nafsu zamannya. Novel Rahasia Meede menyajikan apa yang pembaca cari dari sebuah novel sejarah. 
Sebuah novel tentulah mempunyai cara tersendiri dalam penceritaan kisah-kisah di dalamnya, cara tersebut biasa disebut dengan sudut pandang (point of view). Istilah sudut pandang dijelaskan Perry Lubbock di dalam bukunya The Craft of Fiction (Lubbock, 1965). Menurutnya, point of view mengandung arti hubungan antara tempat pencerita berdiri dengan ceritannya; di ada di dalam atau di luar cerita? Hubungan ini ada dua macam, yaitu hubungan pencerita diaan dengan ceritannya dan hubungan pencerita akuan dengan ceritanya (Lubbock, 1965:251-257).
Hudson menggunakan istilah point of view artinya pikiran atau pandangan yang dijalin dalam karyanya, dan menyatakan bahwa:
Everynovel must necessarily present a certain view of life and of some of the problems of life. It must so exhibit incidents, characters, passions, motives, as to reveal more or less distinctly the way in which the author looks out upon the world and his general attitude towards it. The novelist’s crictisim, or interpretation , or philosophy of life.
                                                                     (Hudson, 1963:131)
Di dalam novel Rahasia Meede, penulis memakai sudut pandang orang ketiga. Namun, meskipun yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga, pengarang disini tidak terlalu banyak tahu. Hal ini memungkinkan untuk terjadinya kejutan-kejutan yang ditimbulkan setiap tokoh. Pengarang hanya mengatur ke arah mana tokoh tersebut harus bertindak. Tetapi, pemikiran ataupun keinginan si tokoh, pengarang tidak terlalu mengontrol. Masing-masing tokohlah yang menentukan keinginan mereka, rahasia mereka, ataupun dialog-dialog dengan hati mereka.
Pada dasarnya, karya sastra itu merupakan salah satu kegiatan pengarang membahasakan sesuatu atau menuturkan seseutau kepada orang lain. Yang dituturkan adalah suatu topic tutur yang mereka pilih atau mereka anggap penting untuk dituturkan kepada pendengar atau pembaca. Bentuk bahasa yang dugunakan dalam bertutur hanya ada dua, yakni: bahasa lisan dan bahasa tulisan. Dengan bahasa lisan akan terwujud suatu tuturan lisan. Dengan bahasa tulisan akan terwujud suatu tuturan dalam bentuk tulisan.
Bahasa penting artinya bagi interaksi social semua orang, betapapun tidak banya yang mengetahui bagaimana prosesnya bahasa terbentuk mula-mula hingga seperti sekarang. Tetapi, dalam hubungan dengan sastra, bahasa memegang peranan yang lebih istimewa. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam komunikasisosial sehari-hari. Walaupun amat sukar untuk menunjukkan perbedaan antara bahasa sastra dan bahasa nonsastra dewasa ini, namun tidak dapat dibantah bahwa bahasa yang digunakan didalam karya sastra dirasakan perbedaannya dengan bahasa yang digunakan dalam media yang lain. Ini dikarenakan, penuturan sastra merupakan penuturan yang kreatif dan imajinatif.
Kekayaan sebuah karya atau tulisan kreatif terletak pada unsur-unsur bahasa dan bentuk yang menimbulkan keragaman dan kompleksitas, serta interaksi yang baik antara unsur-unsur tersebut sesamanya sera dengan dunia nyata yang berada di lingkungan karya itu sendiri. Gaya bahasa yang digunakan oleh seorang sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik karena selain dekat dengan watak dan jiwa penyair, juga membuat bahasa yang digunakan berbeda dalam makna dan kemesraannya. Jadi, gaya lebih merupakan pembawaaan pribadi. Dengan gayanya ia hendak memberi bentuk terhadap apa yang hendak dipaparkannya.
Menurut Muhardi dan Hasanudin (2006:44), gaya bahasa cenderung dikelompokkan menjadi empat jenis, yakni: penegasan, pertentangan, perbandingan, dan sindiran.
Gaya bahasa yang digunakan di dalam novel Rahasia Meede adalah gaya bahasa gabungan. Maksudnya, pengarang tidak hanya menggunakan satu jenis gaya bahasa saja untuk mendukung novelnya. Terkadang pengarang menggunakan gaya bahasa sindiran,. Ini tercermin dari dialog-dialog ilmuwan Belanda yang datang ke Indonesia terhadap masyarakat Indonesia., serta terlihat dari sindiran orang pribumi terhadap orang Belanda yang datang ke Indonesia. Terkadang gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa perbandingan. Disana-sini untuk mengungkapkan keindahan/kejadian alam, pengarang melukiskan seolah-olah alam tersebut hidup dan bertindak seperti manusia. Pengarang juga menggunakan gaya bahasa penegasan dan pertentangan untuk lebih melengkapi novelnya.
Dilihat dari segala unsur, Rahasia Meede sudah memenuhi kategori novel sastra serius. Karenanya, hanya segelintir orang yang mau membacanya. Sesengguhnya, kejelian kitalah dalam memilih bahan bacaan yang mana yang terbaik ataupun dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan kita.

DAFTAR PUSTAKA
Muhardi dan Hasanuddin W. S. 2006. Prosedur Analisis Fiksi: Kajian Strukturalisme. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia.
Semi, M. Atar. 1984. Anatomi Sastra. Padan: FPBS IKIP.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahamai Cerita Rekaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.