Karya sastra menurut ragamnya dibedakan atas prosa,
puisi, dan drama. Cerita rekaaan merupakan jenis karya sastra yang beragam
prosa. Berdasarkan panjang-pendek cerita, ada yang membeda-bedakan cerita
rekaan dengan sebutan cerpen, cermen (cerita menengah) , dan cerpan (cerita
panjang) (Saad, 1967).
Menurut Horatius, karya sastra memang bersifat dulce
et utile; menyenangkan dan bermanfaat. Demikian pula cerita rekaan sebagai
karya sastra seharusnya menarik dan merangsang ingin tahu. Semua cerita rekaan
ada kemiripan dengan sesuatu dalam hidup ini, karena bahannya diambil dari
pengalaman hidup. Pengalaman ini dapat berupa pengalaman langsung yaitu yang
dialami secara langsung oleh pengarang, dapat juga berupa pengalaman tak
langsung yaitu pengalaman orang lain yang secara tak langsung sampai kepada
pengarang. Dengan menggunakan berbagai sarana literer pengarang menyajikan
cerita yang mirip dengan kenyataan. Dari sekian banyak bentuk sastra seperti
esei, puisi, novel, cerita pendek, drama, bentuk novel, cerita pendeklah yang
paling banyak dibaca oleh para pembaca. Karya– karya modern klasik dalam
kesusasteraan, kebanyakan juga berisi karya– karya novel.
Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular
di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya
yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua
golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat demikian memang benar
tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang mampu memberikan
hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel serius bukan
saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian
juga memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut lebih dari itu.
Novel adalah novel syarat utamanya adalah bawa ia mesti menarik, menghibur dan
mendatangkan rasa puas setelah orang habis membacanya.
Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel
yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya.
Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka. Yang
penting memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Tradisi
novel hiburan terikat dengan pola – pola. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
novel serius punya fungsi social, sedang novel hiburan Cuma berfungsi personal.
Novel berfungsi social lantaran novel yang baik ikut membina orang tua
masyarakat menjadi manusia. Sedang novel hiburan tidak memperdulikan apakah
cerita yang dihidangkan tidak membina manusia atau tidak, yang penting adalah
bahwa novel memikat dan orang mau cepat–cepat membacanya. Menurut Dr. Nurhadi,
Dr. Dawud, Dra. Yuni Pratiwi, M.Pd, Dra. Abdul Roni, M. Pd, Novel adalah bentuk
karya sastra yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya social, moral, dan
pendidikan
Berbicara mengenai anatomi fiksi berarti berbicara
tentang struktur fiksi atau unsur-unsur yang membangun fiksi itu. Struktur
fiksi itu secara garis besar dibagi atas dua bagian; struktur luar dan struktur
dalam. Menurut Drs. Rostamaji,M.Pd, Agus priantoro, S.Pd, Novel merupakan karya
sastra yang mempunyai dua unsure, yaitu : unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik
yang keduanya saling berhubungan karena sangat berpengaruh dalam kehadiran
sebuah karya sastra. Unsur intrisik terdiri dari tema, amanat, penokohan, alur,
dan setting.
Rahasia Meede merupakan karya kedua E.S. Ito setelah
Negara Keliam. Sebagaimana novel-novelnya yang dipenuhi misteri, E. S. Ito pun
merupakan seorang pengarang yang penuh meisteri. Ia tak suka publikasi, di
foto, bahkan data dirinya yang dilampirkan di novelpun minim sekali. E. S. Ito
adalah salah satu dari beberapa penulis yang menyukai gebrakan. Di saat
penulis-penulis lain lebih memilih mengangkat unsure pop, ia memilih mengangkat
tema yang berbeda yakni fiksi thriller sejarah. Hanya segelintir yang menyukai
dan mampu menulis tipe seperti ini dan E. S Ito adalah salah satunya.
Sebagaimana karya sastra lainnya, Rahasia Meede jugha
disusun oleh unsur-unsur fiksi, yakini intrinsic dan ekstrinsik. Kedua unsure
tersebut yang menjadikan novel ini begitu memukau. Namun, kali ini kita hanya
akan membahas novel Rahasia Meede dari segi intrinsiknya saja, yaitu: alur,
sudut pandang, latar, dan gaya bahasa.
Menurut Sudjiman (1986), sesengguhnya pengaluran adalah
pengaturan urutan penampilan peristiwa untuk memenuhi beberapa tuntutan. Dengan
demikian, peristiwa-peristiwa juga dapat tersusun dengan memperhatikan hubungan
kausalnya (sebab-akibat). Forster (1985:86) mengutamakan hubungan sebab akibat
itu. Ia mengatakan bahwa, “a story is a narrative of events arranged in their
times sequences. A plot is a narrative of events, the emphasis falling on
causality. Causality overshadows time sequences.” Akan tetapi, dalam novel yang
tersusun rapi, hubungan kausalitas ini tak selalu segera tampak. Kuncinya
mungkin terdapat dalam urutan waktu peristiwa yang meloncat-loncat atau dal
gerakan atau dalam ucapan tertentu dari salah seorang tokoh.
Hal itulah yang tercermin dari novel Rahasia Meede,
karya E. S. Ito. Pada awalnya, kita cukup dibingungkan dengan cerita yang
terkesan tidak berhubungan dan acak-acakan. Mulanya, kita disuguhkan situasi
pada saat delegasi Indonesia yang diwakili oleh Muhammad Hatta di Konferensi
Meja Bundar sedang berdiskusi dengan kawan-kawannya. Kemudian, pada bab 1 kita
mendapati perjalanan seorang wartawan bernama Batu yang meliput ke daerah Boven
Digoel. Di sana, ia menguak berita tentang pembunuhan seorang pria. Pria
tersebut diindikasikan bernama Joko Prianto Surono, seorang birokrat yang
dibunuh kemudian di buang ke Boven Digoel. Ternyata, kematian pria tersebut
berhubunagn dengan sebuah pembunuhan berantai.
Pada bab 2, kita mendapati kisah yang berbeda. Di bagian
ini diceritakan tiga orang peneliti dari Belanda yang berusaha menguak misteri
sebuah terowongan bawah tanah.
Pada bab 3, lain lagi. Bab ini berkisah tentang seorang
guru sejarah di sebuah SMA. Guru tersebut dipanggil Guru Uban. Diceritakan
bagaimana hormatnya orang-orang kampung pada dirinya, serta kehidupannya yang
membujang dan vegetarian.
Bab 4 memaparkan seorang wanita bernama Cathleen Zwinkel.
Ia seorang anita Belanda yang menuntut ilmu di Universitas Leiden, Belanda. Ia
sengaja datang ke Indonesia suna mencari informasi untuk bahan tesisnya tentang
sejarah ekonomi kolonial di Indonesia.
Sekilas, cerita ini terkesan terpotong-potong. Namun, di
sinilah terletak kepiawaian sang pengarang. E. S. Ito sengaja menyajikan
potongan-potongan mozaik peristiwa untuk kemudian dirangkai sendiri oleh
pembaca. Plot awal yang unik adalah penuntun ke kisah-kisah selanjutnya. Jika
kita membacanya lebih jauh, maka akan didapatkan kesan bahwa bagian awal yang
terpotong-potong merupakan pembuka dari peristiwa-peristiwa yang akan terjadi
berikutnya.
Pada umumnya, alur yang di gunakan di dalam novel ini
adalah alur maju. Hal ini tergambar dari peristiwa-peristiwa yang berkaitan.
Dimana peristiwa yang sebelumnya merupakan sebab terjadinya akibat di peristiwa
berikutnya. Dapat kita buktikan, diman awalnya ditemukan sebuan lorong di bawah
tanah Kota Jakarta. Kemudian kedatangan Cathleen sang tokoh utama lalu dilanjutkan
perburuan informasi-informasi yang membimbing pembaca kea rah penemuan harta
karun.
Namun,
disana-sini dapat ditemukan alur sorot balik yang digunakan pengarang.
Alur sorot balik ini selain digunakan untuk penegas peristiwa yng terjadi
berikutnya, juga digunakan untuk menambah ketegangan (suspense). Yang dimaksud
dengan tegangan ialah ketidak pastian yang berkepanjangan dan semakin
menjadi-jadi (Sudjiman, 1986:74). Adanya tegangan dalam novel ini mentebabkan
pembaca terpancing keingintahuannya akan kelanjutan kisah serta akan
penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh.
Ibarat sayur tanpa garam, sebuah novel tak akan lengkap
tanpa adanya latar. Latar merupakan penanda identitas permasalahan fiksi yang
mulai samar diperlihatkan alur atau penikohan (Hasanudin dan Muhardi, 2006:37).
Secara terperinci, latar meliputi penggambaran lokasi geografis, perincian
perlengkapan sebuah ruangan, pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh,
waktu berlakunya kejadian, lingkungan, agama, moral, intelektual, social, dan
emosional para tokoh (Kenney, 1966:40).
Di dalam novel rahasia meede, latar yang disajikan dapat
memukau pembaca. E. S. Ito begitu manisnya menggambarkan detail setiap tempat
yang ada di dalam novelnya. Hudson (1963) membedakan latar menjadi latar sosial
dan latar fisik/material. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan
masyarakat, kelompok-kelompok sosial,dan sikapnya, adaat kebiasaan, cara hidup,
bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa.
Pada novel Rahasia Meede, ada beberapa latar social yang
disajikan E. S. Ito. Awalnya, kita diajak mengenal latar social Kota Jakarta.
Di Jakarta, cara hidup mereka yang hedonis disajikan dengan baik. Masyarakat
Jakarta digambarkannya hobi hura-hura, pergi ke diskotik, dan bersenang-senang.
Tetapi, sang pengarang tidak Cuma menggambarkan kebiasaan orang-orang berada di
Jakarta saja. Pengarang juga memeaparkan bagaimana ikeadaan masyarakat
pinggirannya, cara hidup, kebiasaan masyarakat daerah pesisir, dan lai-lain.
Pengarang juga dapat menunjukkan bagaimana kehidupan masyarakat Maluku. Di
novel tersebut yang paling menarik adalah pemaparan latar social Pulau Mentawai
dengan detail lengkap. Di novel tersebut digambarkan bahwa Masyarakat Mentawai
masih banyak yang berpegang teguh pada adapt nenek moyang mereka, juga dilukiskan
kebiasaan mereka menato diri, bahasa mereka yang berbeda dengan daerah Padang
yang tak begitu jauh dari Pulau Mentawai, cara hidup mereka yang meskipun
sangat bergantung pada alam, namun mereka tetap berusaha melestarikan alam
sekitar mereka.
Sedangkan latar fisik adalah tempat yang ujud fisiknya,
yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya. Dalam novel Rahasia Meede, kita bisa
mengetahui bagaimana bentuk Museum Sejarah Jakarta, bangunan tua peninggalan
Belanda, rumah adapt suku Mentawai, dan lai-lain.
Sebuah latar dapat menjadi penentu dari sebuah novel.
Watak tokoh, konflik yang terjadi, endinh sebuah novel dapat digambarkan atau
dibantu penggambarannya oleh latar. Makin jelas detail sebuah latar, makin
hidup novel tersebut. Latar yang mendetail juga dapat mencegah terjadinya
kebingungan akan peristiwa yang tengah terjadi dalam sebuah novel.
Bagaimanapun, novel sejarah yang baik dapat memberikan gambaran yang hidup
kepada pembaca tentang kehidupan, kegemilangan, dan penderitaan sekelompok
orang pada masa tertentu dalam sejarah, serta adapt, kebiasaan, dan nafsu
zamannya. Novel Rahasia Meede menyajikan apa yang pembaca cari dari sebuah
novel sejarah.
Sebuah novel tentulah mempunyai cara tersendiri dalam
penceritaan kisah-kisah di dalamnya, cara tersebut biasa disebut dengan sudut
pandang (point of view). Istilah sudut pandang dijelaskan Perry Lubbock di
dalam bukunya The Craft of Fiction (Lubbock, 1965). Menurutnya, point of view
mengandung arti hubungan antara tempat pencerita berdiri dengan ceritannya; di
ada di dalam atau di luar cerita? Hubungan ini ada dua macam, yaitu hubungan
pencerita diaan dengan ceritannya dan hubungan pencerita akuan dengan ceritanya
(Lubbock, 1965:251-257).
Hudson menggunakan istilah point of view artinya pikiran
atau pandangan yang dijalin dalam karyanya, dan menyatakan bahwa:
Everynovel must necessarily present a certain view of
life and of some of the problems of life. It must so exhibit incidents,
characters, passions, motives, as to reveal more or less distinctly the way in
which the author looks out upon the world and his general attitude towards it.
The novelist’s crictisim, or interpretation , or philosophy of life.
(Hudson,
1963:131)
Di dalam novel Rahasia Meede, penulis memakai sudut
pandang orang ketiga. Namun, meskipun yang digunakan adalah sudut pandang orang
ketiga, pengarang disini tidak terlalu banyak tahu. Hal ini memungkinkan untuk
terjadinya kejutan-kejutan yang ditimbulkan setiap tokoh. Pengarang hanya
mengatur ke arah mana tokoh tersebut harus bertindak. Tetapi, pemikiran ataupun
keinginan si tokoh, pengarang tidak terlalu mengontrol. Masing-masing tokohlah
yang menentukan keinginan mereka, rahasia mereka, ataupun dialog-dialog dengan
hati mereka.
Pada dasarnya, karya sastra itu merupakan salah satu
kegiatan pengarang membahasakan sesuatu atau menuturkan seseutau kepada orang
lain. Yang dituturkan adalah suatu topic tutur yang mereka pilih atau mereka
anggap penting untuk dituturkan kepada pendengar atau pembaca. Bentuk bahasa
yang dugunakan dalam bertutur hanya ada dua, yakni: bahasa lisan dan bahasa
tulisan. Dengan bahasa lisan akan terwujud suatu tuturan lisan. Dengan bahasa
tulisan akan terwujud suatu tuturan dalam bentuk tulisan.
Bahasa penting artinya bagi interaksi social semua
orang, betapapun tidak banya yang mengetahui bagaimana prosesnya bahasa
terbentuk mula-mula hingga seperti sekarang. Tetapi, dalam hubungan dengan
sastra, bahasa memegang peranan yang lebih istimewa. Bahasa yang digunakan
dalam karya sastra berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam komunikasisosial
sehari-hari. Walaupun amat sukar untuk menunjukkan perbedaan antara bahasa
sastra dan bahasa nonsastra dewasa ini, namun tidak dapat dibantah bahwa bahasa
yang digunakan didalam karya sastra dirasakan perbedaannya dengan bahasa yang
digunakan dalam media yang lain. Ini dikarenakan, penuturan sastra merupakan
penuturan yang kreatif dan imajinatif.
Kekayaan sebuah karya atau tulisan kreatif terletak pada
unsur-unsur bahasa dan bentuk yang menimbulkan keragaman dan kompleksitas,
serta interaksi yang baik antara unsur-unsur tersebut sesamanya sera dengan
dunia nyata yang berada di lingkungan karya itu sendiri. Gaya bahasa yang
digunakan oleh seorang sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah
unik karena selain dekat dengan watak dan jiwa penyair, juga membuat bahasa
yang digunakan berbeda dalam makna dan kemesraannya. Jadi, gaya lebih merupakan
pembawaaan pribadi. Dengan gayanya ia hendak memberi bentuk terhadap apa yang
hendak dipaparkannya.
Menurut Muhardi dan Hasanudin (2006:44), gaya bahasa
cenderung dikelompokkan menjadi empat jenis, yakni: penegasan, pertentangan,
perbandingan, dan sindiran.
Gaya bahasa yang digunakan di dalam novel Rahasia Meede
adalah gaya bahasa gabungan. Maksudnya, pengarang tidak hanya menggunakan satu
jenis gaya bahasa saja untuk mendukung novelnya. Terkadang pengarang
menggunakan gaya bahasa sindiran,. Ini tercermin dari dialog-dialog ilmuwan
Belanda yang datang ke Indonesia terhadap masyarakat Indonesia., serta terlihat
dari sindiran orang pribumi terhadap orang Belanda yang datang ke Indonesia.
Terkadang gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa perbandingan. Disana-sini
untuk mengungkapkan keindahan/kejadian alam, pengarang melukiskan seolah-olah
alam tersebut hidup dan bertindak seperti manusia. Pengarang juga menggunakan
gaya bahasa penegasan dan pertentangan untuk lebih melengkapi novelnya.
Dilihat dari segala unsur, Rahasia Meede sudah memenuhi
kategori novel sastra serius. Karenanya, hanya segelintir orang yang mau
membacanya. Sesengguhnya, kejelian kitalah dalam memilih bahan bacaan yang mana
yang terbaik ataupun dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Muhardi
dan Hasanuddin W. S. 2006. Prosedur Analisis Fiksi: Kajian Strukturalisme.
Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia.
Semi,
M. Atar. 1984. Anatomi Sastra. Padan: FPBS IKIP.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahamai Cerita Rekaan.
Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.